Latar Belakang<
Globalisasi yang sedang kita rasakan saat ini dampaknya telah berpengaruh pada kehidupan politik suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan dan kemakmuran yg seluas-luasnya dalam sebuah negara atupun individu masyarakat. Globalisasi saat ini bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan model baru yang bisa mengakibatkan keterpurukan ekonomi dan kemiskinan suatu bangsa yang tidak mampu mengimbangi pengaruh globalisasi tersebut. Janji negara Barat kepada negara berkembang bahwa globalisasi memberikan kemakmuran hanyalah retorika, kenyataanya yang mendapatkan kemakmuran hanya negara-negara maju. Globalisasi dengan ideologi kapitalis dan liberalis mencoba untuk memecah belah
Tidak adanya kekuatan kebangsaan, ekonomi dan militer,
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
- Pancasila
- Globalisasi
- Pancasila sebagai filter di eraglobalisasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah PendidikanPancasila
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila
Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam perjalanan ketata negaraan
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
B. Globalisasi
McLuhan yang merupakan seorang pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:
“Istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney“
Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di
“Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.
C. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:
“masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Untuk membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10) bertujuan :
“… untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada et.al.,2000:10).
D. Respon TerhadapGlobalisasi
Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang
Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan ” Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.
Tahun 1960-an ketika Soekarno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.
a. Declaration of
Declaration of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di
Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham ini menghindari peran negara, namun perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.
Pandangan bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan negara untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
b. Manifesto Komunis
Pada kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya (Encyclopedia
Manifesto terbagi dalam empat bab. Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di Eropa sejak peradaban perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi sistem dimana kelas penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan alat-alat produksi. Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat pada eksploitasi ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat. Perubahan kelas penguasa terjadi apabila ada penguasaan alat-alat produksi yang lebih besar lagi. Perjuangan kelas antara bangsawan feodal dan kapitalis akhir abad pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari sejarah masa lalu. Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik. Atas dasar itu maka ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan konsepsi yang realistik dapat dibuat.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata sosial ekonomi dengan produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak ada kepemilikan perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa kelas, perjuangan kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan pribadi kapitalis dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara kolektif, maka kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi sistem kelas.
Pada Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya. Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok politik pada masa itu.
Komunisme pada dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Ideologi Alternatif
Menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.
Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh
E. Pancasila Sebagai Filter di Era Globalisasi
Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa
Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa
Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia.
Dimensi Moral
Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai-nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.
Otonomi moral
Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (”assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (”he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (”a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (”that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (”that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa
Peneliti berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani, secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai ” an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.
Pemahaman perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat itu memang gencar sekali media
Kebutuhan akan disiplin terutama bagi para pejabat maupun politisi sangatlah mendesak karena seperti dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi yang diperlukan
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).
Dimensi Ideologi
Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya (Wahana 1993:86).
Epistemologi Ideologi
Untuk memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar