Powered By Blogger

Jumat, 11 Maret 2011

jalan keluar So7

Sepucat bulan purnama

Segelap malam tergelap

Kubiarkan ku mencari

Hatimu yang tak pernah kau beri


Sedalam palung lautan

Sedalam jurang hatimu

Kau biarkan ku jatuh tanpa ujung

Lepaskan sayapku yang terpasung

Jika memang tiada harapan

Tunjukkan jalan keluar dari hatimu


Sedalam palung lautan

Sedalam jurang hatimu

Kau biarkan ku jatuh tanpa ujung

Lepaskan sayapku yang terpasung


Jika memang tiada harapan

Tunjukkan jalan keluar dari hatimu


Jika memang tak akan bersanding

Tunjukkan jalan keluar dari hatimu


Jika memang tiada harapan

Tunjukkan jalan keluar dari hatimu


Jika memang tak akan bersanding

Tunjukkan jalan keluar dari hatimu





Lirik Lagu Sheila On 7 – Jalan Keluar dipersembahkan oleh Lirik Lagu Indonesia Terbaru

Sabtu, 12 Februari 2011

makalah satu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi yang sedang kita rasakan saat ini dampaknya telah berpengaruh pada kehidupan politik suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan dan kemakmuran yg seluas-luasnya dalam sebuah negara atupun individu masyarakat. Globalisasi saat ini bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan model baru yang bisa mengakibatkan keterpurukan ekonomi dan kemiskinan suatu bangsa yang tidak mampu mengimbangi pengaruh globalisasi tersebut. Janji negara Barat kepada negara berkembang bahwa globalisasi memberikan kemakmuran hanyalah retorika, kenyataanya yang mendapatkan kemakmuran hanya negara-negara maju. Globalisasi dengan ideologi kapitalis dan liberalis mencoba untuk memecah belah Indonesia disemua aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.
Tidak adanya kekuatan kebangsaan, ekonomi dan militer, Indonesia tidak memiliki bargaining power dalam menghadapi tekanan negara maju. Terlebih kebebasan di era globalisasi dan reformasi sudah tidak terkendali, ideologi Pancasila sebagai pemersatu untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme dikalangan pemimpin politik, pengusaha, pemuda dan tokoh-tokoh agama mulai rapuh dan kemungkinan kedepan hanya tinggal sejarah. Materi wawasan kebangsaan, P4 dan BP-7 yang dulu dipakai sebagai pemersatu kini sudah tidak dipakai lagi. Begitu pula dengan arah pembangunan Indonesia yang akan dicapai kedepan sudah tidak memiliki pondasi kuat sebagaimana ketika di Orde Baru dengan GBHN dan REPELITA-nya. Kemerosotan moral dikalangan pemuda, kekerasan, kemiskinan dan kesenjangan sosial, sebagai dampak dari globalisasi dan lemahnya penegakan hukum, konspirasi dan kolusi dikalangan birokrasi, militer dan penegak hukum semakin sulit bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang bisa berdiri sendiri sehingga mempermudah intervensi asing untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Karena globalisasi hanya memberikan 2 kemungkinan yaitu memberi kemakmuran dan kebebasan sekaligus mendatangkan kemiskinan dan ketergantungan pada negara lain sebagaimana yang dialami Indonesia saat ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
a. Pancasila
b. Globalisasi
c. Pancasila sebagai filter di eraglobalisasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah PendidikanPancasila
































BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila
Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap mental,budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Globalisasi
McLuhan yang merupakan seorang pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:
“Istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney“
Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996 yang menyatakan bahwa:
“Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.
C. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:
“masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Untuk membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10) bertujuan :
“… untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada et.al.,2000:10).
D. Respon TerhadapGlobalisasi
Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia. Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan ” Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.
Tahun 1960-an ketika Soekarno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.
a. Declaration of Independence
Declaration of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di Philadelphia pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari penjajahan Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik yang isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature) yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness) dan fungsi pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah mendapatkan kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu rakyat dan tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian bahwa pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and Happiness) serta melindungi dari kekuasaan despotis yang absolut, maka rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi menyingkirkan pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal keamanan masa depan mereka yang baru (Enclylopedia Americana Vol. 8. 2001 : 592).
Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham ini menghindari peran negara, namun perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.
Pandangan bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan negara untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

b. Manifesto Komunis
Pada kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya (Encyclopedia Americana 2001: 439). Manifesto tersebut ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The Manifesto of Communist Party.
Manifesto terbagi dalam empat bab. Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di Eropa sejak peradaban perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi sistem dimana kelas penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan alat-alat produksi. Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat pada eksploitasi ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat. Perubahan kelas penguasa terjadi apabila ada penguasaan alat-alat produksi yang lebih besar lagi. Perjuangan kelas antara bangsawan feodal dan kapitalis akhir abad pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari sejarah masa lalu. Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik. Atas dasar itu maka ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan konsepsi yang realistik dapat dibuat.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata sosial ekonomi dengan produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak ada kepemilikan perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa kelas, perjuangan kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan pribadi kapitalis dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara kolektif, maka kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi sistem kelas.
Pada Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya. Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok politik pada masa itu.
Komunisme pada dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Somerville (Encyclopedia Americana vol. 7, 2001:439) mengatakan bahwa beberapa gagasan manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk perubahan radikal sekalipun.
Ideologi Alternatif
Menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.
Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.
E. Pancasila Sebagai Filter di Era Globalisasi
Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
Dimensi Moral
Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai-nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.
Otonomi moral
Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (”assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (”he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (”a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (”that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (”that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Peneliti berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani, secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai ” an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.
Pemahaman perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat itu memang gencar sekali media massa memberitakan mengenai para anggota lembaga legislatif yang terjerumus sebagai pengguna narkoba dan perilaku menyimpang lainnya.
Kebutuhan akan disiplin terutama bagi para pejabat maupun politisi sangatlah mendesak karena seperti dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi yang diperlukan Indonesia saat ini adalah disiplin.Disiplin yang dimaksudkannya adalah disiplin diri termasuk etika politik di dalamnya, terutama bagi kalangan elite. Selanjutnya dikatakan bahwa bukan hanya dari negarawan saja dituntut adanya rasa tanggungjawab publik melainkan juga dari para politisi. Kegagalan untuk berperilaku etis ini menyebabkan reformasi menjadi deformasi (PR, 27 Januari 2007).
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).

Dimensi Ideologi
Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya (Wahana 1993:86).
Epistemologi Ideologi
Untuk memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.

makalahyang ke dua

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
lobalisasi yang sedang kita rasakan saat ini dampaknya telah berpengaruh pada kehidupan politik suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan dan kemakmuran yg seluas-luasnya dalam sebuah negara atupun individu masyarakat. Globalisasi saat ini bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan model baru yang bisa mengakibatkan keterpurukan ekonomi dan kemiskinan suatu bangsa yang tidak mampu mengimbangi pengaruh globalisasi tersebut. Janji negara Barat kepada negara berkembang bahwa globalisasi memberikan kemakmuran hanyalah retorika, kenyataanya yang mendapatkan kemakmuran hanya negara-negara maju. Globalisasi dengan ideologi kapitalis dan liberalis mencoba untuk memecah belah Indonesia disemua aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.
Tidak adanya kekuatan kebangsaan, ekonomi dan militer, Indonesia tidak memiliki bargaining power dalam menghadapi tekanan negara maju. Terlebih kebebasan di era globalisasi dan reformasi sudah tidak terkendali, ideologi Pancasila sebagai pemersatu untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme dikalangan pemimpin politik, pengusaha, pemuda dan tokoh-tokoh agama mulai rapuh dan kemungkinan kedepan hanya tinggal sejarah. Materi wawasan kebangsaan, P4 dan BP-7 yang dulu dipakai sebagai pemersatu kini sudah tidak dipakai lagi. Begitu pula dengan arah pembangunan Indonesia yang akan dicapai kedepan sudah tidak memiliki pondasi kuat sebagaimana ketika di Orde Baru dengan GBHN dan REPELITA-nya. Kemerosotan moral dikalangan pemuda, kekerasan, kemiskinan dan kesenjangan sosial, sebagai dampak dari globalisasi dan lemahnya penegakan hukum, konspirasi dan kolusi dikalangan birokrasi, militer dan penegak hukum semakin sulit bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang bisa berdiri sendiri sehingga mempermudah intervensi asing untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Karena globalisasi hanya memberikan 2 kemungkinan yaitu memberi kemakmuran dan kebebasan sekaligus mendatangkan kemiskinan dan ketergantungan pada negara lain sebagaimana yang dialami Indonesia saat ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
a. Pancasila
b. Globalisasi
c. Pancasila sebagai filter di eraglobalisasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah PendidikanPancasila
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
• Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
• Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
• Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
• Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
• Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
• Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
• Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
B. Globalisasi

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
• Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
• Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
• Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
• Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
• Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia
• Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
• Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
• Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
• Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.
Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
• Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
 Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
 Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
• Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
• Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Berkas:Mcdonalds oslo 2.jpg Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.]]
Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka -- mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya. [sunting] Globalisasi Perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
• Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai atau pun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja
• Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio atau pun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
• Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
• Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
• Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. [sunting] Kebaikan globalisasi ekonomi
• Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
• Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
• Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
• Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
• Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut. [sunting] Keburukan globalisasi ekonomi
• Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat.
• Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.
• Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
• memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk. [sunting] Globalisasi kebudayaan Sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. [sunting] Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
Globalisasi Perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
• Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja
• Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
• Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
• Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
• Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia.
Kebaikan globalisasi ekonomi
• Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
• Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
• Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
• Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
• Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.
Keburukan globalisasi ekonomi
• Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat.
• Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran. http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Globalisasi&action=edit
• Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
• Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk.
Globalisasi kebudayaan
Sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
• Persaingan bebas dalam bidang ekonomi
• Meningkakan interaksi budaya antarnegara melalui perkembangan media massa
C. Pancasila Sebagai Filter di Era Globalisasi
Sebelum kita mengkaji lebih jauh tentang globalisasi, seyogyanya kita harus memahami terlebih dahulu pengertian globalisasi. Kamus Bahasa Inggris Longman Dictionary of Contemporary English, mengartikan global dengan concerning the whole earth. Maksudnya sesuatu yang berkaitan dengan dunia internasional atau seluruh alam jagad raya. Sesuatu hal yang dimaksud disini dapat berupa masalah, kejadian, kegiatan, atau bahkan sikap yang sangat berpengaruh dalam kehidupan yang lebih luas.
Menurut John Huckle, globalisasi adalah suatu proses dengan mana kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi suatu konsekuensi yang signifikan bagi individu dan masyarakat di daerah yang jauh. Sementara itu, Albrow mengemukakan bahwa globalisasi adalah keseluruhan proses di mana manusia di bumi ini diinkorporasikan (dimasukkan) ke dalam masyarakat dunia tunggal, masyarakat global. Karena proses ini bersifat majemuk, kita pun memandang globalisasi di dalam kemajemukan.
Secara ekonomi, globalisasi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.
Menurut Prijono Tjjiptoherijanto, konsep globalisasi pada dasarnya mengacu pada pengertian ketiadaan batas antar negara (stateless). Konsep ini merujuk pada pengertian bahwa suatu negara (state) tidak dapat membendung “sesuatu” yang terjadi di negara lain. Pengertian “sesuatu” tersebut dikaitkan dengan banyak hal seperti pola perilaku, tatanan kehidupan, dan sistem perdagangan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa “globalisasi” merupakan suatu proses pengintegrasian manusia dengan segala macam aspek-aspeknya ke dalam satu kesatuan masyarakat yang utuh dan yang lebih besar.
Gobalisasi sebagai suatu proses bukanlah suatu fenomena baru karena proses globalisasi sebenarnya telah ada sejak berabad-abad lamanya.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 arus globalisasi semakin berkembang pesat di berbagai negara ketika mulai ditemukan teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi.
Loncatan teknologi yang semakin canggih pada pertengahan abad ke-20 yaitu internet dan sekarang ini telah menjamur telepon genggam (handphone) dengan segala fasilitasnya
Bagi Indonesia, proses globalisasi telah begitu terasa sekali sejak awal dilaksanakan pembangunan. Dengan kembalinya tenaga ahli Indonesia yang menjalankan studi di luar negeri dan datangnya tenaga ahli (konsultan) dari negara asing, proses globalisasi yang berupa pemikiran atau sistem nilai kehidupan mulai diadopsi dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Globalisasi secara fisik ditandai dengan perkembangan kota-kota yang menjadi bagian dari jaringan kota dunia. Hal ini dapat dilihat dari infrastruktur telekomunikasi, jaringan transportasi, perusahaan-perusahaan berskala internasional serta cabang-cabangnya.
Bangsa Indonesia merupakan bagian dari bangsa di dunia. Sebagai bangsa, kita tidak hidup sendiri melainkan hidup dalam satu kesatuan masyarakat dunia (world society). Kita semua merupakan makhluk yang ada di bumi. Karena itu, manusia secara alam, sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan budaya tidak dapat saling terpisah melainkan saling ketergantungan dan mempengaruhi.
Era globalisasi yang merupakan era tatanan kehidupan manusia secara global telah melibatkan seluruh umat manusia. Secara khusus gelombang globalisasi itu memasuki tiga arena penting di dalam kehidupan manusia, yaitu arena ekonomi, arena politik, dan arena budaya.
Jika masyarakat atau bangsa tersebut tidak siap menghadapi tantangan-tantangan global yang bersifat multidimensi dan tidak dapat memanfaatkan peluang, maka akan menjadi korban yang tenggelam di tengah-tengah arus globalisasi.
Dari sisi politik, gelombang globalisasi yang sangat kuat yakni gelombang demokratisasi. Sesudah perang dingin dan rontoknya komunisme, umat manusia menyadari bahwa hanya prinsip-prinsip demokrasi yang dapat membawa manusia kepada taraf kehidupan yang lebih baik. Angin demokratisasi telah merasuk ke dalam hati rakyat di setiap negara. Mereka melakukan gerakan sosial dengan menggugat dan melawan sistem pemerintahan diktator atau pemerintahan apapun yang tidak memihak rakyat.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia, yaitu dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Lama dan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru. Di Indonesia sejak bergulirnya reformasi, gelombang demokratisasi semakin marak dan tuntutan akan keterbukaan politik semakin terlihat.
Dari sisi budaya, era globalisasi ini membawa beraneka ragam budaya yang sangat dimungkinkan mempengaruhi pola pikir, tingkah laku, dan sistem nilai masyarakat suatu negara. Oleh karena itu, kita seharusnya waspada dan pandai menyiasati pengaruh budaya silang sehingga bangsa kita dapat mengambil nilai budaya yang positif yaitu mengambil nilai budaya yang bermanfaat bagi kehidupan dan pembangunan bangsa serta tidak terjebak pada pengaruh-pengaruh budaya yang negatif. Kita juga harus belajar melihat dunia dari perspektif yang berbeda sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing tanpa melunturkan nilai identitas budaya bangsa kita. Dengan memahami perbedaan dan persamaan kebudayaan tadi akan menumbuhkan saling pengertian dan saling menghargai antar kebudayaan yang ada.
Proses globalisasi yang membawa dampak positif maupun dampak negatif telah menembus ke segala penjuru dunia tanpa mengenal batas administrasi negara. Oleh karena itu, tindakan preventif yang harus kita lakukan terhadap arus globalisasi yaitu bersikap waspada dan selektif terhadap segala macam arus globalisasi tersebut. Untuk itu kita harus memiliki ketahanan nasional yang kuat.

Sikap selektif dapat diartikan sebagai sikap untuk memiliki dan menentukan alternatif yang terbaik bagi kehidupan diri, lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara melalui proses yang berhati-hati, rasional, dan normatif terhadap segala macam pengaruh dari luar sehingga apa yang telah menjadi pilihan dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh tanggung jawab.
Kita mempunyai nilai dasar yang dapat membentengi pengaruh buruk akibat arus globalisasi. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali dari budaya luhur bangsa.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia untuk percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia untuk bersikap adil kepada sesama, menghormati harkat dan martabat manusia, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Nilai persatuan Indonesia memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia untuk bersikap demokratis yang dilandasi dengan tanggung jawab.
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan pemahaman dan penyadaran kepada bangsa Indonesia atas hak dan kewajibannya yang sama dalam menciptakan keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu, kita harus dapat mengembangkan nilai dan sikap kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat.

tugas 1 jah,seng bab 1 dan dua tinggal copy paste.terus tambahi yang bab III y?

PENDAHULUAN<
Latar Belakang<
Globalisasi yang sedang kita rasakan saat ini dampaknya telah berpengaruh pada kehidupan politik suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan dan kemakmuran yg seluas-luasnya dalam sebuah negara atupun individu masyarakat. Globalisasi saat ini bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan model baru yang bisa mengakibatkan keterpurukan ekonomi dan kemiskinan suatu bangsa yang tidak mampu mengimbangi pengaruh globalisasi tersebut. Janji negara Barat kepada negara berkembang bahwa globalisasi memberikan kemakmuran hanyalah retorika, kenyataanya yang mendapatkan kemakmuran hanya negara-negara maju. Globalisasi dengan ideologi kapitalis dan liberalis mencoba untuk memecah belah Indonesia disemua aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.

Tidak adanya kekuatan kebangsaan, ekonomi dan militer, Indonesia tidak memiliki bargaining power dalam menghadapi tekanan negara maju. Terlebih kebebasan di era globalisasi dan reformasi sudah tidak terkendali, ideologi Pancasila sebagai pemersatu untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme dikalangan pemimpin politik, pengusaha, pemuda dan tokoh-tokoh agama mulai rapuh dan kemungkinan kedepan hanya tinggal sejarah. Materi wawasan kebangsaan, P4 dan BP-7 yang dulu dipakai sebagai pemersatu kini sudah tidak dipakai lagi. Begitu pula dengan arah pembangunan Indonesia yang akan dicapai kedepan sudah tidak memiliki pondasi kuat sebagaimana ketika di Orde Baru dengan GBHN dan REPELITA-nya. Kemerosotan moral dikalangan pemuda, kekerasan, kemiskinan dan kesenjangan sosial, sebagai dampak dari globalisasi dan lemahnya penegakan hukum, konspirasi dan kolusi dikalangan birokrasi, militer dan penegak hukum semakin sulit bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang bisa berdiri sendiri sehingga mempermudah intervensi asing untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Karena globalisasi hanya memberikan 2 kemungkinan yaitu memberi kemakmuran dan kebebasan sekaligus mendatangkan kemiskinan dan ketergantungan pada negara lain sebagaimana yang dialami Indonesia saat ini.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah

    1. Pancasila
    2. Globalisasi
    3. Pancasila sebagai filter di eraglobalisasi

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah PendidikanPancasila

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pancasila

Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap mental,budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.

Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.

Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.

Rumusan I: Muh. Yamin

Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.

Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:

1.Peri Kebangsaan

2.Peri Kemanusiaan

3.Peri ke-Tuhanan

4.Peri Kerakyatan

5.Kesejahteraan Rakyat

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:

1.Ketuhanan Yang Maha Esa

2.Kebangsaan Persatuan Indonesia

3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan II: Ir. Soekarno

Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.

Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.

Rumusan Pancasila

1.Kebangsaan Indonesia

2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan

3.Mufakat,-atau demokrasi

4.Kesejahteraan sosial

5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan

Rumusan Trisila

1.Socio-nationalisme

2.Socio-demokratie

3.ke-Tuhanan

Rumusan Ekasila

1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta

Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.

Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.

Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.

Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).

Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.

Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.

Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.

Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.

Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.

Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa

2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3.Persatuan Indonesia

4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Globalisasi

McLuhan yang merupakan seorang pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).

Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:

“Istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney

Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).

Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).

Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).

Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.

Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996 yang menyatakan bahwa:

“Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.

C. Pengaruh Globalisasi

Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:

“masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.

Untuk membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10) bertujuan :

“… untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada et.al.,2000:10).

D. Respon TerhadapGlobalisasi

Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia. Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).

Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan ” Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).

Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):

“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.

Tahun 1960-an ketika Soekarno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

a. Declaration of Independence

Declaration of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di Philadelphia pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari penjajahan Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik yang isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature) yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness) dan fungsi pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah mendapatkan kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu rakyat dan tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian bahwa pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and Happiness) serta melindungi dari kekuasaan despotis yang absolut, maka rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi menyingkirkan pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal keamanan masa depan mereka yang baru (Enclylopedia Americana Vol. 8. 2001 : 592).

Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham ini menghindari peran negara, namun perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.

Pandangan bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan negara untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

b. Manifesto Komunis

Pada kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya (Encyclopedia Americana 2001: 439). Manifesto tersebut ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The Manifesto of Communist Party.

Manifesto terbagi dalam empat bab. Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di Eropa sejak peradaban perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi sistem dimana kelas penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan alat-alat produksi. Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat pada eksploitasi ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat. Perubahan kelas penguasa terjadi apabila ada penguasaan alat-alat produksi yang lebih besar lagi. Perjuangan kelas antara bangsawan feodal dan kapitalis akhir abad pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari sejarah masa lalu. Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik. Atas dasar itu maka ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan konsepsi yang realistik dapat dibuat.

Kesimpulan yang didapat adalah bahwa komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata sosial ekonomi dengan produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak ada kepemilikan perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa kelas, perjuangan kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan pribadi kapitalis dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara kolektif, maka kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi sistem kelas.

Pada Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya. Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok politik pada masa itu.

Komunisme pada dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).

Somerville (Encyclopedia Americana vol. 7, 2001:439) mengatakan bahwa beberapa gagasan manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk perubahan radikal sekalipun.

Ideologi Alternatif

Menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.

Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.

Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.

Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.

E. Pancasila Sebagai Filter di Era Globalisasi

Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.

Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.

Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.

Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.

Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.

Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.

Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.

Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.

Dimensi Moral

Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai-nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.

Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.

Otonomi moral

Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.

Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.

Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (”assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (”he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (”a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (”that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (”that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .

Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.

Peneliti berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani, secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai ” an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.

Pemahaman perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat itu memang gencar sekali media massa memberitakan mengenai para anggota lembaga legislatif yang terjerumus sebagai pengguna narkoba dan perilaku menyimpang lainnya.

Kebutuhan akan disiplin terutama bagi para pejabat maupun politisi sangatlah mendesak karena seperti dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi yang diperlukan Indonesia saat ini adalah disiplin.Disiplin yang dimaksudkannya adalah disiplin diri termasuk etika politik di dalamnya, terutama bagi kalangan elite. Selanjutnya dikatakan bahwa bukan hanya dari negarawan saja dituntut adanya rasa tanggungjawab publik melainkan juga dari para politisi. Kegagalan untuk berperilaku etis ini menyebabkan reformasi menjadi deformasi (PR, 27 Januari 2007).

Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).

Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).

Dimensi Ideologi

Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya (Wahana 1993:86).

Epistemologi Ideologi

Untuk memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .

Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.

Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.

Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.